Beranda | Artikel
Biografi Imam Abu Hanifah
Sabtu, 26 Maret 2016

TENTANG BERMADZHAB

Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin MA

Pertanyaan.
Ustadz, banyak saudara kita yang fanatik terhadap salah satu imam madzhab; menyangka bahwa bila kita tidak mengikuti atau tidak fanatik terhadap salah satu imam, kita dianggap tidak mempunyai pegangan dalam agama ini. Saya mohon penjelasan ustadz terhadap kekeliruan saudara-saudara kita yang fanatik madzhab tersebut. Syukran. Nirwan, Banjarmasin

Jawaban.
Bapak Nirwan di Banjarmasin, semoga Allâh Azza wa Jalla membimbing kita kepada apa yang diridhai-Nya. Satu hakikat yang tidak diperselisihkan oleh para Ulama, bahwa di antara umat Islam tidak ada yang ma’shum (bebas dari kesalahan) kecuali  Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Imam Mâlik rahimahullah berkata,”Setiap orang bisa diambil perkataannya dan ditolak, kecuali pemilik kuburan ini,” (sambil menunjuk ke kuburan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ).[1]

Dengan demikian, tidak ada seorang Ulama pun yang selalu benar. Sehebat apapun seorang Ulama, ada kalanya pendapat Ulama lain lebih kuat dari pendapatnya atau pendapatnya menyelisihi dalil yang lebih kuat. Jika demikian kondisinya, lantas bagaimana kita diwajibkan untuk fanatik kepada salah satu imam dengan selalu memakai pendapatnya ? Yang wajib diikuti adalah dalil dan pendapat yang dalil, siapapun pemilik pendapat itu.

Para Ulama dan imam madzhab telah berjasa mendekatkan ilmu agama kepada umat. Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati dan membalas jasa mereka. Kita boleh mengikuti salah satu madzhab itu, tetapi tidak wajib. Bahkan madzhab empat yang terkenal belum ada di generasi awal umat Islam yang merupakan generasi terbaik. Bermadzhab tidaklah tercela, sebagaimana tidak bermadzhab juga bukan merupakan kesalahan. Yang salah adalah fanatik kepada madzhab atau imam tertentu dengan terus mengikuti pendapatnya meskipun pendapatnya itu jelas menyelisihi dalil. Padahal sikap seperti ini dilarang oleh para imam itu sendiri. Seluruh imam madzhab yang empat diriwayatkan mengatakan demikian. Imam Syâfi’i rahimahullah –misalnya- mengatakan, “Jika haditsnya shahîh, maka ambillah dan campakkanlah pendapatku (yang menyelisihinya) ke dinding.”[2]

Syaikh Sulaiman bin Salimullâh ar-Ruhaili hafizhahullâh mengatakan, “Saya mengamati para imam madzhab yang empat, maka saya menemukan sesuatu yang agung. Mereka sama-sama menguasai ilmu al-Qur`ân, dan Allâh Azza wa Jalla memberikan kepada Mâlik rahimahullah dan Ahmad rahimahullah kelebihan dalam ilmu hadits. Asy-Syâfi’i rahimahullah diberi kelebihan dalam bahasa Arab dan ushul- fiqih, sedangkan kelebihan Abu Hanîfah rahimahullah adalah qiyas dan logika. Maka barangsiapa mengetahui keutamaan mereka dan memilih pendapat yang terkuat dari mereka berempat,  terkumpul padanya kelebihan yang diberikan Allâh Azza wa Jalla kepada mereka masing-masing.[3]

Ringkasnya, bermadzhab itu boleh, dan tidak wajib. Namun tidak boleh fanatik. Jika ada pendapat dalam madzhab yang menyelisihi al-Qur`ân atau hadits, maka ikutilah pendapat yang didukung dalil.

Wallâhu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] Rijalul-Fikr wad-Da’wah, 1/233.
[2] Nailul-Authar, 5/399.
[3] Mudzakkirah Daurah I’dad Mufti (Kaset Pertama).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4507-tentang-bermadzhab.html